Tidak ada satupun kerangka teori atau
suatu metode yang baku yang dipakai dalam mempelajari New Media
(Media baru). pengertian dan pemahaman akan sebuah new media sangatlah kompleks dan
beragam, sehingga menjadi tidak mungkin atau terlalu naïf bila kita
menggunakan pendekatan metodologis dan teoritis yang pernah diungkapkan
atau dibuat, dan dianggap sebagai sebuah definisi. Memang seperti yang
David Bell tunjukkan dalam bab berikut mengatakan bahwa kompleksitas
teori yang mengkategorikan new media bisa saja direfleksikan pada
kondisi dalam penggunaan Net serta penelitian akan Web sekarang ini.
Refleksi dari hal ini menunjukkan keterbukaan akan pengartian maksud
dari New Media yang bisa kita ambil dan kita salin dari berbagai metode
dan pendekatan teoritis yang berbeda. Namun, meski kita tidak bisa
melihat dan menangkap pengertian akan hal ini secara jelas, hal ini
tidak boleh menghalangi kita untuk bisa menempatkan dan mengeksplorasi
sebuah pengertian baru, baik secara teoritis maupun metodologis yang mungkin bisa lebih baik dan mencerminkan media yang ada sekarang ini.
Jika kita bisa menghargai apa
yang bisa saja menjadi sebuah pendekatan teoritis baru ,akan new media,
sangat krusial buat kita untuk bisa menguraikan cara sebuah media untuk
cenderung dianalisis dan dijelaskan secara historis. Hal ini dikarenakan
daripada hanya sekedar menjadi sebuah kajian sistematis yang menghapus
kajian yang sebelumnya, kajian pendekatan teori yang baru ini tidak bisa
dilepaskan dari sebuah proses pengembangan atas reaksi media yang telah
dipahami dan menjadi teori sebelumnya. Dalam rangka memperjelas debat
mengenai historis ini, saya pertama kali akan mendiskusikan media yang
sudah ada sebelumnya namun dalam pembahasan/konteks yang lebih modern,
lalu mulai pada diskusi pada hubungan antara media post-modern, media
post-stuctural, sampai dengan sesuatu hal yang disebut dengan new media.
Pandangan Modernisasi dan “Media Tua(Post
Modern Media)”.
Dimulai pada sekitar akhir abad
ke Sembilan belas, modernisasi adalah sebuah istilah yang kami berikan
pada cara masyarakat dalam merespons pada perubahan di masa revolusi
industri. Dengan berakar pada masa Penerangan di periode abad ke-18,
modernisasi cenderung menentang pada pandangan theokratis dan anggapan
God-Centered (berpusat pada Tuhan) dimana anggapan ini mengatakan bahwa
Tuhanlah yang telah membantu mendefinisikan bagaimana hubungan
manusia-masyrakat di masa lampau. Gagasan ini antara lain teori evolusi
di dalam biologi, komunisme di dalam politik, teori relatifitas dalam
bidang fisika, dan pengembangan teori psikoanalis yang mencoba
menjelaskan alam semesta dalam terminologi quasi-scientific atau ilmiah.
Dengan cara ini, pandangan modern cenderung menantang dan mengubah
dengan cepat pandangan religius dan mistis dari dari dunia pada masa pre
industri.
Dengan kepercayaan bahwa science
tidak bisa dilepaskan dari proses kemajuan, banyak aspek dari
modernisasi yang optimis bahwa proses ini memiliki kekuatan untuk
mengubah kehidupan manusia menjadi lebih baik. Bagaimanapun juga,
seperti halnya progress di abad ke dua puluh, efek paling negatif ilmu
pengetahuan(science) dan industrialisasi(dalam beberapa hal terjadi pada
masa Perang Dunia I, dan Perang Dunia II) meningkat tajam sangat jelas
dan brutal. Dalam beberapa hal, banyak para pembaharu (modernis) yang
juga merasa industrialisasi sebagai musuh dari pemikiran bebas, dan
individualitas; dimana menurut mereka, indutrialisasi menciptakan dunia
yang dingin, dan tidak memiliki jiwa. Untuk alasan itulah reaksi
modernisasi atas sebuah modernitas seringkali dirasakan sebagai asa yang
berlawanan, di satu sisi dirasakan sebagai sebuah perayaan atas
masuknya era teknologi, di sisi lain mengutuk akan hal itu (Hall
1995:17).
Dalam keadaan yang bertentangan
seperti ini banyak para pembaharu berusaha untuk merefleksikan kekacauan
dan penyalah artian tersebut justru sebagai bagian dari proses
modernisasi. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan teknologi dan
ilmu pengetahuan, merubah pandangan kita akan masyarakat dan diri kita
sendiri. Oleh karenanya para seniman dan kaum intelektual mencari jalan
baru untuk merefleksikan dan mengartikulasikan fragmentasi ini menjadi
“dunia baru yang berani”. Kaum penganut Surealisme dengan jelas
mendramatisasikan pandangan Freud’s sebagai sebuah kekuatan mimpi dan
ketidaksadaran, sementara para kaum Futuris menyertai cinta mereka untuk
mesin, teknologi, dan kecepatan. Selain itu ada pula sebuah
ketertarikan yang selalu disertakan dalam banyak ungkapan artistik ini,
seperti schizophrenia (penyakit jiwa) akan pengalaman modern yang
diungkap dalam novel ‘stream of coonscoisness‘(arus kesadaran),
sementara ada pula lukisan Abstract Expressionists yang mengungkapkan
kekacauan, anarkisme, idiosyncratic dan nihilistic pemandangan dari
dunia yang modern.
Tersembunyi dalam gerak yang
artistic juga merupakan kepercayaan bagi seorang pembaharu dalam
perannya sebagai seorang seniman, figur romantis yang sering digambarkan
dengan seorang pahlawan jenius yang mengucilkan dirinya sendiri dan
memiliki kemampuan untuk merevolusi seni dan dunia di sekitar kita,
serta mampu melebihi keduanya. Hal ini diungkapkan oleh David Harley
sebagai perjuangan untuk menghasikan suatu seni karya yang baik, untuk
sekali, dan semua kreasi dimana semua kreasinya bisa menemukan tempatnya
sendiri dalam pasar, serta harus merupakan sebuah usaha individual yang
bisa menembus lingkaran kompetisi (Penekanan sesuai dengan aslinya,
1990:2). Dan itu semua adalah sebagian kepercayaan modernisasi dalam
kekuatan seni dimana seniman mengubah bentuk dunia itu yang
dibelakangnya penuh dengan kecurigaan dan rasa tidak suka akan jenis
kebudayaan sehari-hari yang sering ditemukan dalam novel, bioskop,
televisi, komik, koran, majalah, suratkabar, dsb.. Sebagaimana yang
Andreas Huyssen utarakan “Pandangan modernisasi hampir scara konsisten
tidak peduli akan permusuhan di antara kultur masyarakat(1986:238),
membantah bahwa hanya seni yang bernilai tinggi saja (khususnya seni
tinggi seperti halnya avant garde), yang bisa mendukung peran sosial dan
kritik akan estetika. Ini adalah ketegangan diantara dua pandangan yang
ekstrim(kebudayaan masyarakat yang ‘tanpa perimbangan’, melawan ‘seni
tinggi’ avant garde) yang mungkin secara eksplisit bisa menggambarkan
reaksi atas modernisasi terhadap sebuah media pada pengembangan awal di
sepanjang abad ke dua puluh.
Banyak sekali contoh yang
merefleksikan penghinaan modernisasi atas sebuah media, namun salah satu
kelompok intelektual yang paling terkenal dalam mengambil cara
berpendirian ideologis ini adalah (The Frankfurt School (Sekolah
Frakfurt)). Dikucilkan dari Negara Jerman ke Amerika sepanjang perang
dunia ke II, kelompok penganut paham Marxisme Eropa ini telah ‘dijejali’
oleh kultur masyarakat Amerika yang memiliki banyak persamaan akan
produk media massanya. Khusunya sekolah ini merasa bahwa media Amerika
adalah sebuah produk industrialisasi yang sudah distandardisasi, serta
sering pula dihubungkan dengan aspek fordism pada kultur masyarakatnya.
Fordism adalah sebuah istilah terminasi untuk menggambarkan kesuksesan
Henry Ford’s dalam industry mobil, terutama sekali peningkatan metode
produksi massalnya dan pengembangan lini perakitan pada tahun 1910. Dia
menggunakan teknik produksi missal dimana sebuah mobil mungkin saja
diproduksi dengan biaya yang lebih murah sehingga bisa dijangkau oleh
warga Amerika biasa. Bagaimanapun, karena ini adalah sebuah produksi
missal, maka semua model mobil Ford jenis T adalah sama persis. Ketika
Ford ditanya akan di cat warna apa mobilnya nanti, Ford dengan sangat
baik menjawab “Warna apa saja, yang penting Hitam”.
Untuk seorang ahli teori Marxist
dari The Frankfurt School, filosofi ford ini juga merupakan sebuah
bukti dari segala aspek kebudayaan masyarakat, dimana segala acara
tayangan televisi, film, novel, majalah, dsb.. adalah sangat identik
satu sama lain. Deskripsi mereka akan ‘Budaya Industri” dengan jelas
menyatakan ketidak sukaan mereka akan produk industrialisasi dan kemasan
formula dari produk mereka (Amerika). Sebagai gantinya dalam
menstimulasi pemirsa, produk media massa ini desain untuk menjaga
masyarakat dalam tekanan mereka denga menawarkan sebuah bentuk yang
produk homogen dan terstandardisasi. Seperti yang diungkapkan Theodor W.
Adorno yang menjelaskan dengan referensi (mencontohkan) pada music yang
populer:
Struktur Standardisasi Tujuan
dengan Reaksi yang Baku:
Saat kita mendengarkan music
yang popular, itu dimanipulasi bukan hanya oleh promoters/produser dari
lagu tersebut, tapi juga oleh music itu sendiri, seperti oleh nuansa
dari musik itu sendiri, ke dalam sebuah mekanisme reaksi, dimana secara
keseluruhan bertentangan dengan gagasan individualitas akan kebebasan,
dalam sebuah masyarakat yang liberal. Beginalah cara sebuah musik
dipopulerkan ke pendengar dengan melepaskan spontanitas mereka dan
mempromosikan dengan refleks yang dikondisikan sebelumnya.
(Adorno [1941] 1994: 205–6, penekanan
sesuai dengan aslinya)
Beberapa ketertarikan akan isu
media ini juga datang untuk dari kebijakan penyiaran. Sebagai contoh,
gagasan BBC akan jasa penyiaran publik didasari pada sejumlah budaya,
politis, dan teoritis yang ideal serupa dengan modernisasi. Dalam
beberapa hal (khusus), Direktur Utama BBC, John Reith, berargumentasi
bahwa penyiaran sebaiknya digunakan untuk mempertahankan “budaya yang
tinggi”, melawan degradasi kepribadian dan pengaruh dari budaya
masyarakat. Ini adalah salah satu alasan mengapa dia berargumentasi
dengan keras, bahwa seharusnya BBC dibiayai penuh oleh perpajakan.
Dengan dimikian, bisa menghindari pengaruh besar dari komersialisasi
kepribadian oleh media massa Amerika. Walaupun dia memiliki pandangan
politik yang berbeda dengan Marxist seperti yang dianut oleh The
Frankfurt Scholl, Reith bersedia berbagi perhatiannya akan pengaruh
media massa yang begitu besar sehingga seakan mengkorupsi audiencenya
yang terlalu lemah dan tidak berpendidikan. “Ini terkadang
mengindikasikan kita”, dalam tulisannya yang terkenal, “bahwa kita
kelihatannya lebih mengedepankan untuk memberikan publik apa yang mereka
butuhkan, bukan yang mereka inginkan, tetapi kenyataanya sangat sedikit
sekali kita tau apa yang mereka inginkan, dan lebih sedikit lagi
mengetahui apa yang mereka butuhkan” (dikutip oleh Briggs 1961:238).
Persepsi/pandangan yang
menggambarkan bahwa sebenarnya para audience itu secara umum adalah
pasif dan mudah tertipu direfleksikan oleh analisis media dalam periode
modernisasi, khususnya pada ‘efek’ dari model atas riset audience yang
diadakan. Terkadang model ini juga sering dianggap sebagai model jarum
suntik. Model ini mempunyai pendekatan bahwa audience lebih cenderung
untuk pasrah dan secara konstan menerima dirinya untuk ‘disuntik’ oleh
pesan yang disampaikan media, seperti halnya salah satu bentuk dari
jenis obat-obatan narkotika. Riset pendengar inilah yang dibawa/diusung
oleh The Frankkfurt School sebagai sebuah bagian yang dengan jelas
mempengaruhi tradisi, dimana isu ini seakan mengesahkan pandangan
pesismis yang mengklaim akan adanya indoktrinasi oleh media. Dalam
kaitannya dengan analisa textual (dianggap sebagai pandangan pesimis)
The Frankfurt School mempersuasikan hal yang serupa, dengan mengkritik
cara media memecah belah ideology dominan dari the bourgeoisie tersebut.
Beberapa tokoh mereka a.l: Adorno(1941-1994) yang bekerja pada dunia
music popular, Lowenthal (1961) mempelajari pada literature popular dan
majalah, Lalu Hertogs (1941) yang mempelajari opera sabun di radio,
kesemuanya menyatakan hal yang serupa akan adanya standardisasi tentang
kultur media massa dan media itu sendiri.
Walaupun adanya pandangan
pesimis dari The Frankfurt School yang diarahkan ke media, masih ada hal
dari media yang masih bisa dipuji untuk setidaknya mempelajari bentuk
dari modernisasi media ini secara serius dan layak untuk dijadikan
sebagai studi akademik. Pryek ini lalu diteruskan dan dikembangkan oleh
pergerakan struktural yang dimana terus meningkat popular di sepanjang
tahun 1950an sampai 1960an. Sebagian tumbuh dari dari keyakinan akan
kekuatan ilmu pengetahuan dan pandangan rasionalis, kamu structural
berpendapat bahwa manusia itu terbentuk dari struktur sosi-psikologis
dan linguistik dimana mereka memiliki control yang sedikit akan itu.
Kepercayaan pada pandangan rasional juga menunjukkan suatu metode
bagaimana menyingkap struktur ini dengan menggunakan metode
quasi-scientific investigasi. Suatu istilah yang dinamakan Semiotics
memainkan peran sentral di dalam usaha ini, dan diaplikasikan untuk
segala macam perilaku dalam kultur-textual mulai dari bioskop hingga
bidang periklanan, mulai dari hal fotografi, hingga komik. Berdasarkan
pada penelitian Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce dalam
bidang linguis, semiotics mengedepankan metode yang jelas dan padu,
dimana segala macam jenis text/tulisan bisa dibaca secara objektif
sebagai sebuah system dari sekumpulan ‘tanda’. Dengan ‘memecahkan
tanda’ dari sekumpulan ;tanda’ ini, para pakar semiotics bisa
memanipulasi audience mereka secara berangsur-angsur. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Daniel Chandler, “dekonstruksi dan kontes akan kenyataan
dari sekumpulan tanda dapat mengungkapkan kenyataan siapa yang lebih
diistimewakan, dan siapa yang lebih ditindas. Beberapa studi menunjukkan
konstrukso tanda tersebut, dan pemeliharan oleh beberapa kelompok
social tertentu,’ (penekanan dari text asli, 2004a:15).
Roland Barthes’s([1957] 1973)
dengan sangat luar biasa mempengaruhi lewat buku Mitologisnya dengan
sangat baik, menggunakan kemampuan structural dan semiotics untuk
menganalisa semua bentuk kebudayaan dalam pertandingan gulat, mobil
citroen, wajah Greta Carbo, dan bubuk sabun. Selain itu, sebagai seorang
Marxist, proses menyimpulkan kepribadian akan habit membaca text
didapat dari kesukaan Barthes atas sedikit keraguan dari pandangan
structural, ketika mempropgandakan ataupun mempersuasikan sebuah
ideology dengan sangat luar biasa. Salah satu dari contoh karya Barthes
yang terkenal adalah karyanya akan analisa sebuah foto yang menjadi
sampul majalah Paris Match pada tahun 1955. Dimana dalam sampul majalah
tersebut, ia menunjukkan seorang prajurit kulit hitam yang hormat pada
bendera nasional Prancis. Barthes berpendapat bahwa ini adalah media
yang memberikan gambaran positif akan kekaisaran Prancis dalam era
krisis nasional. Jadi selama metode quasi scientific dalam pandangan
struktural masih bisa membantu me-legistimasi kebudayaan masyarakat, dan
media setalah era perang dunia, maka audience dalam pandangannya masih
dianggap lemah untuk memberikan respons atas pesan yang tersembunyi dari
sebuah media. (Lihat Barthes 1977).
Dengan cara ini, maka kita bisa
memulai mengidentifikasikan beberapa komponen utama dari media dan
audience yang telah menjadi bahan penelitian sepanjang pertengahan awal
abad ke dua puluh. Khususnya konteks dari modernisasi yang memberikan
kita pemahaman teori yang mendalam cara sebuah media mengerti dan
mendorong ideologinya dimana hal ini tidak bisa dilepaskan dari kritik
akan teori ini. Jenis dari pendekatan akan teori ini adalah dengan tidak
mempercayai media, dengan pendapat bahwa audience membutuhkan
perlindungan dari standardisasi dan pengaruh dari media tersebut. Hal
inilah yang membedakan gagasan teori baru yang mendefinisikan sebuah
‘Media Baru’ dan perannya di abad ke – 21.
Pasca Modernisasi – dan Media
Baru.
Ketika pandangan modernisasi
biasanya selalu dihubungkan dengan awal tahap revolusi industry, pasca
modernisasi (pertama kali dikenal dengan istilah Arsitektur, lihat Jenks
1984) lebih sering dihubungkan dengan segala perubahan pasca revolusi
industri. Ekonomi era pasca - industri (terkadang juga disebut dengan
istilah pasca Fordist) adalah saat dimana terjadi transisi ekonomi dari
ekonomi berbasis produksi, menjadi ekonomi berbasis jasa. Masyarakat di
tandai dengan naiknya teknologi informasi, globalisasi pasar uang,
pertumbuhan di bidang jasa, munculnya para pekerja kantor, dan
kemunduran industry berat (lihat Bell 1976). Oleh karenanya tidak aneh
bila kultur dan politik yang dibangun di masa pasca-industrialisasi
berbeda dengan dominasi konteks modernisasi sebelumnya di masa
industrialisasi. Perubahan cultural ini sebagian bisa dimengerti sebagai
produk yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat konsumen dimana
konsumsi dan kesenangan sekarang lebih menentukan ketimbang kerja dan
produksi. Ini berarti ‘budaya konsumsi’ datang dan mendominasi
ketimpangan budaya; dimana pasarlah yang menentukan semua bentuk dan
kebutuhan hidup kita setiap hari. Dalam dunia ‘post-modernisasi’ tidak
ada satupun titik acuan diluar barang komoditas dan segala hal tentang
teknologi yang terpisah lalu secara perlahan kemudian menghilang.
Perubahan ini dalam masyarakat
pasca industrialisasi dengan jelas telah mempengaruhi pandangan dari
teori kritik yang sekarang mengerti dan paham akan peran yang sekarang
dimainkan oleh media dalam masyarakat pada masa ini. Dalam beberapa hal
juga telah terdapat pergeseran dari pandangan pesimis yang pernah
mencoba mendefinisikan pendekatan yang dilakukan oleh para pembaharu
seperti yang pernah dilakukan oleh The Frankfurt School. Pergeseran
pandangan yang mengkritik ini ditandai dengan apa yang telah dilakukan
oleh Mcluhan. Saat Mcluhan sedang sering menggembar-gemborkan hal yang
menjadi ketertarikan para pembaharu, yaitu ideology mereka yang
memengaruhi pendengar yang lemah dan tidak berdaya (lihat, sebagai
contoh, analisis pertama Mcluhan tentang efek-efek merugikan dari
penayangan iklan The Mechanical Bride: Foklore of Industrial Man(1951)).
Penelitian yang dilakukan oleh Mcluhan ternyata sering bertentangan
dengan rasa antusiasme dan kegembiraan yang jarang sekali dipikirkan oeh
pembaharu teori kritik. Walaupun gaya tulisannya nampak penuh dengan
kebencian akan pesan dalam media elektronik; dengan ungkapannya yang
terkenal ‘media adalah pesan’, yang sering dimunculkan dalam mimic yang
meniru penayangan iklan tersebut, sebenarnya dia secara tidak langsung
telah menggunakan istilah ‘surfing’, (mengacu pada cepat, tidak
beraturan, dan pergerakan multi direksional dalam sebuah
dokumen).Seperti yang juga telah diungkapkan oleh Levinson (1999)
tentang Digital Mcluhan, dikatakan bahwa untuk mengantisipasi akan
kekuatan dari media baru adalah dengan meningkatkan interaktif
audiencenya dengan informasi elektronik yang ia terima (pp 65-79).
Pergeseran teori akan konsepsi
mengenai media dan audiencenya selanjutnya digaungkan oleh para kaum
post-strukturalis. Sementara kamu strukturalis secara umum merefleksikan
kebutuhan kaum modern dengan menyingkap maksud dari pesan yang
tersimpan dalam sebuah media, kamu post-struktural lebih cenderung untuk
mengambil pandangan deterministik yang lebih sedikit tentang
kepribadian dari media secara keseluruhan. Terinsipirasi oleh teori yang
dikembangkan oleh Louis Althusser(1971) dan Antonio Gramsci (1971),
analisa mengenai media secara berangsur-angsur mulai menerima teori
bahwa ideologi dalam media sebenarnya lebih kompleks dari apa yang
dibayangkan pertama kali. Dimana audiences sekarang sudah bisa membalas
pesan yang disampaikan oleh media sehingga mereka menjadi apa yang
disebut dengan ‘polysemic’ yaitu mampu berinteraksi dengan penyampaian
pesan bertingkat yang disampaikan oleh media.(lihat Fiske 1998 62-83).
Hal yang tidak bisa dilepaskan
ini bermakna bahwa para kaum modern mendesak bahwa sebuah media teks
bisa dijabarkan menjadi sebuah makna ideology, yang terus berkembang
sehingga tidak bisa dipertahankan. Seperti yang Elen Seiter uangkapkan
di bawah ini:
Kaum post structural memberikan
penekanan pembedaan diantara penanda (sign), dan menandai antara satu
tanda dengan tanda yang lain, diantara satu konteks dengan konteks
selanjutnya, dengan penekanan bahwa makna dari sebuah pesan selalu
diposisikan pada konteks dan situasi tertentu. Teori dan ideologi
psiko-analis dibawah pengaruh kaum post struktural, lebih fokus pada gep
atau celah, ketidakhadiramn, serta ketidak paduan makna dalam sebuah
teks.
(Seitter 1962:61)
Keadaan / konteks yang tidak
dapat dipastikan akan makna dalam sebuah pesan teks, menjadi pusat
kajian dari teori post-struktural, merubah semua makna, dimana riset
kontemporer ini bukan hanya bisa dimengerti oleh medianya saja, tapi
juga penerima pesan tersebut sebagai pembaca. Maksudnya, pengaruh teori
post struktural akan analisis media mengatakan bahwa riset penelitian
sekarang ini lebih sedikit memberikan penekanan pada bagaimana cara
menyandikan sebuah pesan(produser), namun pada bagaimana cara
mengartikan pesan tersebut(penerima pesan)(lihat Hall 1973). Pada
awalnya teori ini dikenal sebagai “Penggunaan dan Kepuasan”, sebuah
metode baru dari analisa media, yang mencoba menujukkan bagaimana cara
memproduksi sesuatu materi yang kaya, dimana usaha ini ditujukan untuk
menunjukkan betapa kompleksnya memproduksi sebuah pesan teks diantara
isi teks itu sendiri dan audiencenya (Lihat Brroker dan Jermyn 2003).
Teori ini adalah sebuah langkah yang lebih maju dari konsep para kaum
modernist dan strukturalis akan audience yang awalnya pasif, menjadi
partisipann yang aktif dalam memproduksi makna pesan.
Seperti yang diuggestikan oleh
pesan ini, baik pengusung teori post-modernisasi dan post
strukturalisasi sama-sama memandang bahwa pesan itu sendiri tidak dapat
diartikan secara keseluruhan. Berdasarkan pada pemahaman kultur
strukturalis mengenai struktur linguis, mereka berpendapat dalam
kenyataannya linguis yang ada pada masyarakat hanya sampai pada tingkat
bahasa, dan percakapan. Ini berarti daripada kita menyederhanakan dengan
perasaan yang tidak berdosa, apa yang sebenarnya menjadi kenyataan,
lewat bahasa sebenarnya kita sudah membangun pandangan akan diri kita
sendiri dan sesuatu yang kita sebut sebagai kenyataan. Jadi daripada
mencari arti yang dalam dari sebuah makna yang sifatnya tidak nyata
melalui bahasa dan percakapan, post strukturalis memilih untuk lebih
cenderung pada analisa dan kondisi praktis yang dimana bisa
mengkonstruksi sesuatu yang disebut ‘kebenaran’ (lihat, sebagai contoh,
Foucault 1991). Jadi sementara kaum modernis mencari makna dan kebenaran
dari kekacauan dan perpecahan dunia modern, kaum post modernis telah
menerima keadaan bahwa pencarian akan kebenaran yang hakiki itu adalah
sia-sia.
Ketidak stabilan akan
arti ‘kebenaran’ ini dihubungka oleh kalim kaum post modernis di akhir
abad ke dua puluh, dimana masyarakat sudah menjadi lebih skeptis(tidak
mudah percaya) tentang teori-teori utopis seperti teori Pencerahan dan
teori Marxist. Memisahkan dua teori ini hanya sebagai ‘narasi yang
agung’, teori post modern cenderung untuk mengkategorikan mereka sebagai
pandangan akan dunia secara menyeluruh, dan tak lain hanya sekedar
narasi dan ilmu bahasa semata. Walaupun mungkin saja sukar untuk
mengerti teori seperti itu dalam dunia yang sebagian besar masih
berpegang pada fundamental agama, kepercayaan akan kemungkinan yang
utopis dari modernisasi jelas nampak dikritik keras dan dibantah oleh
Dunia Barat yang sinis. Salah satu post modern teori diungkapkan oleh
Jean Francois Lyotard:
Dalam kultur dan masyarakat di
zaman ini- masyarakat post industry – dan kebudayaan post modern
-....narasi yang kaya telah kehilangan akan kredibilitasnya tanpa
memperdulikan pada penggunaan model gabungan dari narasi tersebut, atau
pada jenis narasi sepkulatif,atau mungkin narasi yang berisi semangat
emansipasi…Kapanpun kita mencari pada penyebab dari ini semua maka
tentunya kita akan kecewa.
(Lyotard
1984: 37-8)
Ketidak percayaan ini mengarah
pada proyek revolusioner dari modernisasi yang mungkin membantu
menjelaskan mengapa pada akhirnya sikap daripada kaum post modern lebih
melonggarkan sikapnya pada media secara keseluruhan. Sementara media
secara umum dipisahkan dari modernisasi karena standardisasi, terlalu di
formula, serta dangkal, kaum post modern justru lebih cenderung untuk
merayakan hal ini sebagai bentuk penolakan secara implicit terhadap
pencarian atas nilai kebenaran secara mendalam. Beberapa karakteristik
bisa dilihat sebagai refleksi dari kenyataan dimana semuanya tampil
dalam hal yang berlawanan seperti fakta dan fiksi, nyata dan tidak
nyata, asli dan yang kurang jelas keasliannya dan lain sebagainya.
Inilah kenapa apa yang dikerjakan oleh Andy Warhols dipahami sebagai
sebuah post modernisasi secara intrinsik. Sebagai contoh, bingung dan
kecewa adlah dua hal yang sering menyertai kita ketika mencoba memahami
‘seni’ dari pada produk media massa ini.
Tentu saja, beberapa pots
modernist kritikus membantah bahwa sangat tidak mungkin bagi kita untuk
bisa membedakan antara gambar dari sebuah media, dengan kenyataan,
dimana diantara keduanya telah terjalin suatu hubungan sehingga sangat
susah bagi kita untuk menggambar garis diantara kedua hal tersebut
(McRobbie 1994:17). Menurut seorang filsafat Baudrillad (1994), dalam
masyarakat kontemporer, sebuah simulasi telah bsa mengkopy objek yang
real atau sebenarnya. Fenomena Baudrillad ini dikaitkan pada ‘pesanan
ketiga akan simulacra’ yang memproduksi ‘hyperreality’. Ini menunjukkan
bahwa diantara gambar image dan kenyataannya telah berada pada satu
entitas yang sama dan oleh karenanya sangat sulit untuk bisa memisahkan
hubungan di antara keduanya. Sperti yang diutarakan oleh Best dan
Kellner ’kenyataan, dan sesuatu yang tidak nyata tidak tercampu seperti
halnya minyak dan air, mereka lebih rekat daripada dua cuka yang
digabungkan(1997:03). Beberapa orang kritikus bahkan yakin bahwa
perbedaan antara manusia dan mesin (dalam penggunaannya) sudah meulai
menghilang. Walaupun gagasan akan kemunculan cybord masih sekedar
menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan kritikus Donna Hathaway(1991)
sudah menggunakan istilah itu untuk menggambarkan metafora sebagai
kekuatan untuk membangun ulang essensi dari perbedaan gender dan
identitas manusia di dunia ini. Seperti yang juga diungkapkan oleh Mark
Dery:
Interaksi kita (sebagai manusia)
dengan dunia kita terus meningkat dengan ditengahi oleh Teknologi
Komputer, dan melalui tiap bit dari digital bit, kita sudah mulai
menjadi sebuah Borg(robot) seperti dalam film StarTrek:The Next
Generation. Berubah menjadi bentuk cyborg-hybrid yang merupakan gabungan
dari teknologi-dengan biologi melalui interaksi denga mesin pada
frekuensi yang tinggi, atau melalui sebuah interface yang menghubungkan
kita dengan teknologi tersebut.
(Derry
1994:6)
Problematika akan apa yang kita
sadari sebagai sesuatu yang riil, tidak bisa kita lepaskan dari
pengaruhnya akan apa yang kita sebut sebagai otentifikasi diri sendiri,
sebagai konsep identitas dari era post modern Dalam beberapa hal ada
sebuah argument yang menyatakan ada peningkatan interaksi antara
audience dan media baru dimana media tersebut mengajak audiencenya untuk
bermain di sekitar media tersebut, dan membuat identitas beragam
sumber, dan terkadang sangat kontradiktif. Proses ini sering dikaitkan
dengan apa yang dikatakan oleh Hartley (1999: 177-85) sebagai ‘DIY
hubungan masyarakat kota’, dimana media sekarang memperbolehkan untuk
menciptakan identitas personal kita. Dengan begitu banyaknya komunitas
yang kita bisa temukan dalam web, kita bisa memulai dengan begitu
udahnya untuk memilih dan mengambil identitas seperti apa yang kita
ingin ambil, dan identitas yang inging kita tolak. Jadi hal ini
memfasilitasi kita untuk menentukan bagaimana kita mendefunusukan diri
kita sendiri ketimbang mendefinisikan diri kita dalam kategori yang
lebih sempit dan terbatas ada jumlah pilihan yang pernah didefinsikan di
masa lampau. Ini adalah sebuah keadaan yang kontras dimana biasanya
kita tidak bisa menentukan diri kita sendiri, karena identitas primer
kita merupakan warisan dari orang tua kita.
Gagasan yang mengesankan akan
identitas ini tentu saja muncul sebagai sebuah kontras akibat dari
adanya konsep masyarakat kota dan identitas yang disebarkan dengan
menjabarkan akar istilah dari modernisasi, khususnya konsep seperti jasa
pelayanan Penyiaran. Konsep yang digagas oleh John Reith akan ‘Budaya’,
dan ‘sifat Britania Raya’, sebagai contoh, sekarang ini sepertinya bisa
dimaafkan mengingat restriktifnya dalam hal transnasional,
multicultural (seperti apa yang Mcluhan (1962) gambarkan sebagai sebuah
‘desa dunia’), dimana banyak sekali orang yang sekarang berterimakasih
atas adanya email, satelit, dan televisi global. Para kritikus
postmodernist mungkin membantah keras anggapan bahwa ‘penyiaran’
tersebut adalah konsep total dimana menurut mereka hal tersebut sangat
tidak bisa merefleksikan pemberagaman secara mutlak atas suatu bangsa
maupun masyarakatnya (lihat Creeber 2004). Frase ‘penyiaran lokal’-yang
digunakan untuk mengartikan Media Baru dalam mengalamatkan dan
menyebarkan dalam relung audiencenya, mungkin lebih baik dalam
membungkus semua peran televisi dan radio dalam dunia multimedia(lihat
Curtin 2003).
Seperti apa yang kita lihat,
peningkatan interaksi antara audience dalam konteks Media Baru ini juga
diartikan dalam teori post struktural dimana cenderung untuk memahami
audience sebagai partisipan yang aktif dalam menciptakan sebuah makna.
Website seperti Youtube, MySpace dan Facebook, muncul untuk
merefleksikan pemahaman akan hal ini, sebagai ‘kultur partisipan’;
dimana mereka tidak hanya menciptakan komunitas virtual mereka sendiri
namun juga memperbolehkan audience untuk juga menjadi ‘produser’, sama
baiknya dengan menjadi ‘penerima pesan’ dari sebuah media. Teori
‘fandom’ sangat penting disini dengan internet yang memperbolehkan fans
dalam berbagai macam kultur untuk menciptakan komunitas virtual yang
menambahkan pemahaman original dan bahkan konten dari apa yang mereka
sukai (lihat bab 7). Sebagai contoh, pertumbuhan dari ‘fiksi slash’,
memperbolehkan audiencenya untuk aktif berpartisipasi dalam produksi
dengan menciptakan materi ekstra-tekstual tentang tayangan televisi
favorit mereka (lihat Jenkins 2006 b). Akibatnya daripada hanya
memperlihatkan essensi komersial dan menjadi inaktif, dalam dunia pots
modern, mereka bisa mengkonsumsi diri mereka sendiri sebagai hal positif
dan berperan sebagai partisipan yang baik. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Mackay, ‘ Daripada hanya sekedar menjadi pasif, sekunder, di
determinasi oleh aktifitas, konsumsi, …tampak terlihat meningkat sebagai
sebuah aktifitas dengan praktek dari kita sendiri, tempo, signifikan,
dan bisa menentukan’ (1997: 3-4). Beberapa gagasan dengan jelas
diutarakan oleh David Gauntlett dengan gagasan ‘Studi Media 2’, sebuah
teori penjelmaan dari Tim O Reilly yang mempunyai gagasan Web 2, sebuah
dunia dimana penggunanya menggeneralisasi dan mendistribusikan konten
mereka sendiri, lebih sering, dengan kebebasan untuk berbagi,
menciptakan, menggunakan, dan menggunakan kembali (lihat bagian
Introduksi, dan Bab 2).
Sesungguhnya, John Reith’s
cultural dari ‘atas-bawah’ ataupun ‘mengangkat’ dalam beberapa hal
terlihat redundan (berulang) dalam dunia dimana audience menentukan
sendiri pilihan mereka akan media, dan apa yang mereka lakukan
dengannya. Hypertextual ‘potong’ dan ‘tempel’ dari Media Baru-yang
terlihat mendorong penciptaan sampel dan mixing ulang – memproduksi
bukan hanya permasalahan hak cipta tetapi juga dalam konteks yang lebih
jauh membingungkan beberapa pemaknaan dari apa yang kita pahami akan
sebuah media dan hubungannya dengan audience. Tentu saja gagasan bahwa
sebuah organisasi media seperti BBC bisa dengan rigid mendikte selera
masyarakat sekarang. Sebagaimana Lev Manovich ugkapkan, kita sekarang
ini membutuhkan sebuah teori yang sempurna akan hubungan pencipta untuk
menolong kita mengerti hubungan yang terjalin antara media dan
audiencenya, salah satu ungkapan yang sesuai dengan terminasi di atas:
Secara sempurna dengan logika dari
industry yang telah diperluas dan masyarakat post industri, dimana
hampir semua praktek peran menyangkut pemilihan dari sejumlah menu,
catalog, ataupun database. Faktanya … Media baru, adalah ekspressi dari
variable terbaik akan logika identitas dalam struktur masyarakatnya –
memilih nilai dari anggota atau menu yang disukai.
(Manovich 2002:128)
Interaktif yang terjadi antara
Media Baru dan audiencenya juga telah mendorong munculnya kritik yang
mensugesti bahwa telah terjadi peningkatan dalam hal ‘demokratisasi’
dalam kepribadian dari Media Baru dibandingkan dengan yang tua.
‘Jurnalisme Masyarakat Kota’ (dimana masyarakat menggunakan blog, foto,
ataupun footage dari nomor telephone, untuk menciptakan dan
mengkomentari berita sekarang ini) adalah satu-satunya contoh sekarang
ini di antara banyak hal dari post modernisasi, yang bisa dipilih untuk
diilustrasikan akan peningkatan kemampuan dari sekedar manusia ‘biasa’
menjadi manusia yang aktif terlibat dalam setiap proses produksi dari
sebuah media memindahkan kekuatan jauh dari sang ‘penulis’ ke tangan
audiencenya (bab 7). Memang, untuk teori seperti yang diungkapkan oleh
Mark Poster(1997), internet menyediakan ‘Jeda Ruang Publik Habermaisan’ –
sebuah jaringan demokratisasi dunia cyber untuk mengkomunikasikan
informasi dan beberapa poin pandangan yang bisa ditransform ke ruang
opni public. Sebagaimana voting di internet menjadi lebih bijak,
sehingga itu bisa meningkatkan nilai demokrasi kita di masa depan (bab
9).
Konteks post modern yang telah
saya tulus di outline ini cenderung untuk menempatkan sebuah Media Baru
dalam pandangan primer yang positif, sebagaimana teknolog itu sendiri,
sesederhana membuka level yang meningkat dari partisipasi audience,
keterhubungan yang kreatif,dan demokrasi. Bagaimanapun, bab-bab lain
dalam buku ini akan dengan jelas menggambarkan banyak dari sejumlah
fitur negative dari dunia Media yang Baru, serta tidak sedikit
‘pembagian digital’ yang baru-baru saja memungkinkan hanya sebuah fraksi
kecil dari planet untuk berpartisipasi dalam budaya digital yang baru
(lihat bab 8). Walaupun di Barat, tidak semua partispan media yang baru
diciptakan sama. Seperti yang dijelaskan oleh Henry Jenkins, perusahaan –
dan bahkan individu dalam sebuah perusahaan media – masih menggunakan
lebih banyak kekuatan daripada konsumen individu lainnya atau bahkan
kumpulan dari konsumen. Dan beberapa konsumen memiliki kemampuan yang
lebih untuk berpartisipasi dalam buadaya yang muncul daripada yang
lainnya (2006a : 3). Sama halnya dengan itu, beberapa kritik yang
dimaksudkan kepada ‘dongeng interaktif’ , membujuk partisipan asli dari
media yang baru yang telah dipompa lebih untuk sebuah jangkauan yang
orang-orang saat ini tolak untuk melihat batasnya. Untuk menyatakan
sebuah system yang saling mempengaruhi,, Espen AArseth memperingati
kita, ‘adalah untuk mengesahkannya dengan sebuah kekuatan magic’ (1997 :
48).
Kritik-kritik juga dibantah
bahwa sebuah bidang dari postmodernism dan Media Baru sedang digilir
wargakan dari demokrasi pada menjadi konsumen buta politik, tidak lebih
dapat membedakan antara ilusi simulasi media dan realita tajam dari
social kapitalis yang mereka sembunyikan secara mutlak. Banyak kritik
yang memperdebatkan bahwa bahkan saat ini bidang politik adalah sebuah
keberhasilan dari gambaran di atas bagian penting, sebuah symbol
mengerikan dari McLuhan dan lainnya (1967) aphorisme yang ‘medium adalah
sebuah pesan’ yang berarti sebiah dunia dimana sesuatu dipresentasikan
adalah lebih penting daripada yang sedang dipresentasikan. Dalam lingkup
khusus, kritik-kritik ini cenderung untuk membantah bahwa obsesi
postmodern dengan ‘gambaran’ lebih ‘dalam’ memproduksi sebuah lingkungan
buatan ynag dangkal dimana sedikit diambil secraa serius; yang utamanya
‘camp’ estetis telah digilir setiap menjadi hiburan.
Neil Postman mengatakan:
Televisi kita men-set kita dalam
komunikasi yang stabil dengan duni, tetapi itu dikerjakan dengan sebuah
permukaan yang air mukanya tampak tersenyum adalah tidak dapat dirubah.
Masalahnya tidak hanya televise yang menyajikan kita dengan masalah
tayangan hiburan tetapi juga semua tayangan yang disajikan sebagai
hiburan…
(Postman 1985 : 89)
Visi hkayalan Postman dari dunia
dimana seluruh informasi dikemas sebagai hiburan adalah mungkin lebih
difasilitasi oleh sebuah bentuk Media Baru yang muncul untuk memberikan
kita lebih banyak pilihan, tetapi akhiran pokok dengan membatasi pilihan
yang nyata; mengurangi apapun untuk meminta komoditi dan produk
konsumen yang sama. Kritik membantah bahwa kekuatan revolusi avant-garde
sekaarang telah dikurangi untuk tujuan komersil belaka, bentuk
modernisasi radikal, dan estetik digunakan untuk menjual alcohol dan
rokok dalam periklanan (seperti yang dikatakan David Harvey sebagai seni
bekerja kapitalisme. Dibandingkan kenaikan kemapuan manusia untuk
bermain dengan berbagai macam cirri-ciri, kritik-kritik bahkan telah
ditentang yang mengatakan bahwa globalisasi dunia (yang sebagian
difasilitasi oleh Media Baru) mungkin sebanrnya menurun secara budaya
dan ciri nasional seperti kita semua menjadi serupa peningkatannya dan
homogeny secara budaya. Proses ini telah digambarkan secra profokatif
yang disebut ‘McDonaldization’ di antara masyarakat (lihat Ritzer 2000).
Internet juga telah disalahkan
karena dianggap telah menyempitkan pilihan dan mendorong obsesi dengan
hal-hal sepele yang tidak bernilai dan tidak penting seperti kebiasaan
aneh dan televisi yang berkualitas rendah (lihat McCracken 2003). Lebih
dari itu, komunitas sebenarnya dating menjadi bantahan beberapa kritik
yang berhubungan nyata dan komunitas akan diabaikan; kesatuan untuk
hubungan seorang manusia dalam suatu warga Negara didasarkan pada
kenaikan yang berlebihan (lihat Lister et al. 2003: 180-81). Sementara
itu, kehancuran dari privasi dan bidang umum memiliki maksud yang serius
dalam kemerdekaan penduduk yang saat ini hanya menjadi pengenalan
secara utuh. Baru-baru ini, contohnya, itu telah muncul menjadi sorotan
dimana banyak pegawai yang secara sembunyi-sembunyi sedang menggunakan
website seperti MySpace untuk mengetahui peruntungannya secara online
sebagai seorang pegawai di masa depan (lihat Finder 2006). Sama halnya,
ini juga masih berat untuk memahami demokratisme media yang terjadi
dalam Negara seperti Cina dimana Google dan Rupert Murdoch kelihatan
senang berbisnis dengan penyenoran yang ketat dari lingkungan nin
democrat untuk mendapatkan jalan masuk bagi potensi keuangan sebuah
Negara.
Beberapa kritik dari
postmodernism juga menentang bahwa ada telah terjadi penghancuran antara
gambaran dan kenyataan, lalu kita sedang mamasuki sebuah zaman
relativisme moral dimana terdapat sedikit kritikan atau penghakiman
moral dapat dilatih dan dimana para teoretikus bahakan mendiskusikan
tentang realita dari Gulf War (lihat Norris 1992; bab 8). Seperti sebuah
pemikiran, ini ditentang, memproduksi suatu bahaya yang tidak dapat
dihindari dan medi yang tidak teratur, dimana kekerasan pornografi yang
tidak ada habisnya menduduki ruang obrolan yang menyiksa muda-mudi dan
mereka yang tidak bersalah atau situs yang memberikan suara untuk potik
ektremis yang ditekan (lihat Dean 2000). Media baru mungkin terlihat
menawarkan dunia dari gambaran cerahdan komunikasi tanpa batas, tetapi
itu juga penting untuk mengingat siapa dan apa yang dihilangkan dari
cakupan postmodern. Teknologi utopianisme menyarankan bahwa Media Baru
akan secara otomatis memperbaiki dunia kita agar lebih baik, tetapi
kesejahteraan masa depan kita secara jelas terbentang dalam lingkup
bagaimana dan apa yang kita lakukan dengan pilihan yang kita miliki
dalam penawaran.
Kesimpulan:
Apapun poin teoritis dalam pandangan, Anda
boleh mengambil Media Baru sebagai pilihan, ini tentunya sulit untuk
menentang bahwa media itu sendiri tidak muncul di bawah pemikiran
berubah di atas akhir 20 atau 30 tahun. Oleh karena itu, kita
membutuhkan kerangka teoritis yang baru yang mengizinkan lita untuk
memahami dan menilai keduanya, yaitu fitur positif dan negatif dari
zaman media sekarang ini. Ini berarti bahwa pemahaman yang kritis di
bidang ini, merupakan hal yang penting jika kita ingin membuat suatu
pendekatan teori yang canggih. Seperti yang saya sebutkan di awal sesi
ini, ini kan sangat naïf untuk menyarankan bahwa pendekatan yang
metodologis dan teoritis untuk Media Baru yang bahkan dapat dihentikan
dan dipandang sebagai jawaban pasti, tetapi sesi ini secara simple
dimaksudkan untuk menawarkan sebuah kerangka melalui sebuah pendekatan
angka yang dapat dikontekskan dan didekatkan secara lebih hati-hati.
Teori Media Baru masih dalam
tigkatan yang dini dalam pengembangannya dan masih banyak tugas untuk
dilakukan untuk memperpanjang dan memperluas beberapa pendapat dasar
yang dimaksud di sini, dan di buku manapun. Bagaimanapun, saya berharap
bahwa apa yang jelas sekarang ini adalah bahwa sejak penggambarannya,
media telah dinalisis dan diperiksa melalui bermacam-macam sekolah,
teori-teori, dan metodologi-metodologi, dengan jumlah yang berlebihan.
Saya berharap bahwa dengan pengaturan yang sederhana beberapa dari ini
dalam konteks ‘modernist’ dan ‘postmodern’, dapat dibantu untuk
mengklarifikasi banyak `perdebatan pokok yang terjadi di dalamnya dan di
sekitar bidang ini secara keseluruhan. Meskipun bab lainnya dalam buku
ini tidak dimaksudkan secara eksplisit untuk modernism atau
postmodernism, bab lainnya akan secara jelas memberikan wawasan yang
lebih banyak untuk beberapa pengenalan gagasan teoritis dasar. ‘Digital
teori’ mungkin belum didisiplinkan dalam kapasitasnya, tetapi
kehadirannya akan dirasakan secara menyeluruh dalam buku ini dan ini
menjadi jalan untuk kita memahami Media Baru lebih jauh untuk masa
mendatang.
Referensi :
Terjemahan Digital theory (soft skill-modul-universitas Gunadarma)